LiburanIdul Fitri tahun ini sungguh seru dan berkesan sekali bagi saya. Kesan yang paling seru dan lucu menurut saya ialah ketika kami duduk di pondok, kemudian ada bunyi durian jatuh. Setelah kami datangi dan cari-cari, ternyata bukan durian yang kami dapat melainkan buah kelapa yang sudah kering.

Cerpen Karangan Annisa Intan KKategori Cerpen Ramadhan Lolos moderasi pada 23 February 2014 Aku berumur 12 tahun. Hari ini adalah hari ketiga sebelum hari raya, tapi hari ini aku sedih, aku tidak boleh berpuasa karena, hari ini aku sedang sakit. Waktu aku bangun tidur pukul badanku panas, dan menggigil, rasanya aku lemas sekali. Setelah itu orangtuaku berkata, “Intan, sebaiknya kamu istirahat saja tidak usah puasa dulu nanti, puasanya diganti lain waktu!”. Meskipun aku sempat membantah ingin bepuasa tapi, aku sadar apabila tindakanku itu salah, lalu aku menuruti apa perintah orangtuaku karena, aku ingin cepat sembuh supaya aku bisa berpuasa lagi. Setelah pukul sarapan pagi, dan minum obat, meskipun rasanya tidak enak untuk ditelan, dan tidak enak karena, hanya aku yang tidak berpuasa. Waktu terus berjalan sedangkan, tidak ada pekerjaan yang bisa aku lakukan jadi, lebih baik aku membaca buku saja sambil mengisi waktuku yang kosong. Tidak lama setelah membaca buku, Ibuku berkata, “Hari ini saudara sepupumu yang dari Semarang akan datang ke Surabaya, dan singgah di rumah nenek”. Mbak Pipit ya, yang mau datang kesini, “kata adikku yang bernama Alsya”, ya mbak Pipit akan datang kesini, “kata ibuku”. Pipit adalah nama saudara sepupuku yang akan datang ke Surabaya, aku, dan adikku sangat senang apabila saudara sepupuku akan datang ke Surabaya karena, dia adalah sepupuku yang paling dekat denganku, dan karena dia juga sebaya denganku. Setelah itu pukul saudara sepupuku sudah sampai di rumah nenek. Aku dan adikku senang sekali karena mereka sampai di rumah nenek dengan selamat. Keesokan harinya aku ikut berpuasa tapi, setelah makan sahur aku minum obat. Setelah pukul saudara sepupuku yang dari Semarang itu datang ke rumah ku, aku sangat senang sekali, dia datang bersama ibunya, dan kakaknya yaitu, “budheku, dan kakak sepupuku”, lalu aku, adikku, dan sepupuku itu bermain-main. Setelah maghrib kami semua sholat maghrib berjamaah, lalu buka puasa bersama, aku sangat senang sekali karena, jarang-jarang aku bisa buka puasa bersama-sama. Setelah berbuka puasa, aku mengajak saudaraku untuk sholat Tarawih di masjid dekat rumahku. Setelah selesai sholat, orangtuaku mengantarkan saudaraku untuk pulang ke rumah nenek. Keesokan harinya, aku bangun pukul untuk makan sahur bersama orangtuaku, sambil menonton televisi sejenak untuk hiburan. Acara televisi yang selalu aku lihat bersama orangtuaku waktu makan sahur adalah film “Yuk Kita Sahur” di RCTI, karena, acaranya sangat menghibur. Setelah itu aku membatu ibu untuk membersihkan rumah. Sesudah itu aku ingin menggambar, karena menggambar adalah salah satu kegiatan kesukaanku, setelah menggambar aku mewarnai gambaranku, waktu aku mewarnai gambaranku tiba-tiba gambaran langit aku dicoret sama adikku dengan warna hitam, lalu aku berkata, “kenapa alsysa langitnya kamu coret pakai warna hitam”, biar langitnya mendung mbak, “kata adikku”, lalu aku berkata, “sudah mendingan gambarannya buat kamu saja”, ye… Terima kasih ya mbak, “kata adikku”. Sesudah azan magrib, aku sholat magrib, lalu aku berbuka puasa sambil menonton televisi, waktu aku menonton televisi, ternyata ada sidang isbat yang akan dimulai, setelah selesai sidang isbat ternyata, 1 Syawal 1434 H, jatuh pada hari Kamis, 08 Agustus 2013 besok. Waktu mendengar berita itu aku sangat senang sekali, kalau besok itu 1 Syawal 1434 H, apalagi Hari Raya Idul Fitri besok dirayakan serentak, pasti besok ramai sekali, malam ini saja di langit atas rumahku banyak kembang api berbunyi dan bertebaran, lalu aku menyiapkan pakaianku yang akan dipakai untuk sholat Idul Fitri besok. Hari ini aku bangun pukul untuk bersiap-siap untuk sholat Idul Fitri, tapi orangtuaku tidak bisa ikut sholat bersamaku jadi, aku sholat Idul Fitrinya bersama sepupuku, lalu aku diantarkan oleh ayahku ke rumah nenekku untuk sholat Idul Fitri bersamanya. Setelah sampai di rumah nenek ternyata, saudaraku sudah bersiap-siap untuk sholat Idul Fitri, lalu aku segera bargegas bersama saudaraku untuk sholat bersama di Gelora 10 November. Setelah sampai di Gelora 10 November, aku dan saudaraku segera mengambil tempat, dan bersiap-siap untuk sholat. Setelah sholat kami mendengarkan ceramah sejenak. Sesudah sholat dan mendengarkan ceramah aku diajak saudaraku untuk membeli sate ayam, untuk dimakan bersama di rumah. Setelah sampai di rumah ternyata, orangtuaku beserta adikku sudah sampai di rumah nenek, lalu aku beserta orangtuaku, dan saudara-saudara sepupuku semuanya sudah berkumpul dan saling bermaaf- maafan. Lalu aku minta maaf, dan sungkeman kepada kakek, nenek, dari ibuku, dan sungkeman kepada kedua orangtuaku, rasanya aku terharu, dan sedih sekali karena, aku sudah banyak dosa kepada kedua orangtuaku. Dan aku senang sekali karena, aku bisa bermaaf-maafan dengan orang-orang di sekelilingku dengan perasaan tulus dan ikhlas. Setelah itu giliran aku ke rumah kakek, dan nenekku yang dari ayahku. Setelah sampai disana saudara-saudara sepupuku juga sudah berkumpul disana, lalu aku, dan orangtuaku langsung sungkeman kepada kakek dan nenek, dan maaf-maafan kepada semuanya disana, aku senang sekali karena juga bisa bermaafan disini dengan tulus. Lalu orangtuaku berbincang-bincang bersama kakek dan nenek, sedangkan aku disuruh makan bersama, saudara-saudara sepupuku, lalu bermain-main. Setelah cukup lama bermain, adikku meminta untuk ke rumah nenek, dan kakek dari ibu, untuk bermain bersama mbak Pipit, saudara sepupuku. Lalu kami pergi ke rumah kakek, dan nenek dari ibu, disana banyak tetangga yang silatuhrahmi. Disana aku dan adikku juga bermain-main dengan saudara-saudara sepupuku. Tak terasa waktu sudah malam, lalu aku, adikku, dan orangtuaku pulang ke rumah. Keesokan harinya aku bangun pukul lalu, membantu ibu bersih-bersih rumah. Hari ini saudaraku sepupuku yang dari Semarang pulang ke rumahnya di Semarang, awalnya aku merasa kesepian, karena tidak ada dia. Tapi aku yakin, di lain waktu nanti dia akan kesini lagi, lagi pula aku kan bisa saling mengirim pesan dengannya. Setelah pukul ternyata ada tetangga di sekitar rumah yang bersilatuhrahmi, aku senang sekali karena, jarang-jarang ada tetangga yang bersilatuhrahmi di rumah. Setelah itu aku, kedua orangtuaku, dan adikku, beserta saudara sepupuku bersilatuhrahmi ke rumah saudara jauhku, yang sudah sangat akrab, dengan kakek, dan nenekku. Disana aku dan semuannya saling bermaafan, lalu aku bermain-main di taman dekat rumah saudaraku itu. Setelah dari rumah saudara jauhku, aku pergi ke rumah saudara sepupuku. Disana aku diajak untuk bermain sepeda. Setelah bermain sepeda aku diajak untuk bersilatuhrahmi ditetangga disekitar rumah sepupuku itu. Awalnya aku menolaknya tapi karena, dibujuknya dengan alasan meningkatkan tali silatuhrahmi akhirnya aku mau. Waktu aku berkunjung ke rumah tetangganya saudaraku itu, bersama saudaraku, ternyata tetangganya saudaraku itu mudah akrab ya denganku, aku senang sekali, karena bertambah banyak orang yang ada di sekelilingku, hanya karena silatuhrahmi. Oleh karena itu aku ingin sekali untuk menjaga tali silatuhrahmi dengan orang di selelilingku. Setelah selesai bermain di rumah saudaraku, aku pulang ke rumah. Karena aku sangat lelah aku langsung tertidur waktu sampai di rumah. Aku senang sekali karena, dengan Hari Raya Idul Fitri ini orang-orang di sekelilingku saling berkumpul bersama di suatu tempat, dan aku biasa saling meminta maaf, dengan tulus dan iklas, dengan perasaan yang penuh dengan rasa bersalah. Dan pada Hari Raya Idul Fitri ini aku bisa menambah banyak teman, dan menguatkan tali silatuhrahmi. Pada intinya, Hari Raya Idul Fitri kali ini, sangat mengesankan, dan menyenangkan untukku, dan semuannya. Cerpen Karangan Annisa Intan K Cerpen Hari Raya Idul Fitri Yang Mengesankan merupakan cerita pendek karangan Annisa Intan K, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Share ke Facebook Twitter WhatsApp " Baca Juga Cerpen Lainnya! " I Love You Mom Oleh Hilya “Aku benci mama, aku benci mama!!” teriak Jenny kepada mamanya. Air matanya tak terbendungkan saat ia mengungkapkan isi hatinya. Bertahun-tahun memendam perasaannya, Jenny sudah tidak tahan lagi. Dia ingin Merenung Calon Walikota di Sepertiga Malam Oleh Benny Hakim Benardie Dua kali suara dentingan besi tiang listrik sayup-sayup terdengar di keheningan, saat dipukul oleh penjaga malam. Kokok ayam dan pekikan jangkrik pun sepi dilanda curahan hujan menghamtam atap seng Wajibkah Puasa? Oleh Cik Wa Sore yang cerah dihari pertama bulan ramadhan. Di sudut pusat kota tampak sebuah mushola sederhana dengan seorang ustazah muda dan cantik dikerumuni oleh anak anak yang sedang mengaji. Ustazah Tim Bubadipa Oleh Blueblacksky Tidak terasa bulan yang paling ditunggu umat Islam segera datang. Aku dan teman-temanku akan mengadakan sebuah acara kebaikan guna menyambut bulan suci Ramadhan. Namaku Saira, seorang mahasiswi. Aku, Mai, Selamat Berbuka Kak Roby! Oleh Mufidatul Husna Bulan ramadhan kali ini sama seperti sebelumnya, jauh dari keluarga memang sangat tidak menyenangkan, apalagi di saat mengingat momen dimana kami sedang berbuka dan sahur bersama. Aku Hanna umurku “Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?” "Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan loh, bagaimana dengan kamu?"

Halyang paling aku tunggu di hari raya idul fitri adalah berkunjung ke rumah-rumah tetangga dan sanak saudara. Untuk mengunjungi mereka semua, biasanya kami sekeluarga harus meluangkan waktu hingga 5 hari. Duh lelahnya, tapi entah kenapa, kami tidak merasa letih, kami selalu bergembira ketika pergi ke semua tempat-tempat tersebut.
Cerpen Ahmad Zaini Ramadhan telah berada di ujung bulan. Sinar matahari di bulan suci tinggal sejengkal lenyap di rerimbunan perdu. Rohana dibantu ketiga anaknya menata berbagai menu berbuka di ruang makan. Mereka menanti detik-detik terakhir berbuka puasa. Ketika beduk magrib bertalu-talu dari masjid, Rohana memimpin anak-anaknya berdoa lalu mengawali buka puasanya dengan makanan yang manis. Azan berkumandang di sela kegiatan berbuka. Mereka menjawabi setiap lafal azan dengan pelafalan yang tak sempurna. Rohana dan anak-anaknya tak ada niat mengacaukan atau mempermainkan ucapan tiap huruf dalam lafal azan. Akan tetapi, menu buka puasa yang memenuhi mulut merekalah yang memaksanya demikian itu. "Cukup anak-anak kita memakan takjil. Waktu maghrib sangat pendek. Mari kita shalat berjamaah dulu!" Rohana mengajak anak-anaknya. Ketiga anaknya tak ada yang menawar waktu. Mereka bergegas mengambil air wudlu lalu menunggu ibu terkasihnya di ruang shalat. Usai shalat mereka duduk berzikir melantunkan bacaan istighfar, tasbih, tahmid, dan takbir. Mereka melantunkannya secara bersamaan hingga gema suara memenuhi seluruh ruang rumah. Sungguh lafal-lafal itu mampu melunakkan kerasnya hati karena nafsu dan keangkaramurkaan. Rohana masih duduk khusuk dengan balutan mukena. Dia merogoh sukmanya sambil mengurai segala khilaf dan dosa yang pernah dia lakukan selama ini. Untaian istighfar yang terucap dari bibirnya membuka lembaran kelam hidupnya. Catatan dosa dalam memori tergambarkan secara sirri dalam benaknya. Rohana menegaskan diri bertobat kepada Allah atas dosa-dosanya. Dia memohon kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa yang meluber bersama air mata pertobatannya. Ada yang tak sempurna pada malam lebaran kali ini. Rohana tidak lagi bersama suaminya dalam menyelami malam lebaran tahun ini. Dia mengusir Abdul Aziz, suaminya, dari rumah yang telah dibangun dengan susah payah lantaran fitnah tetangga pada pertengahan puasa. Aziz menjadi korban fitnah perselingkuhan dengan seorang janda sehingga Rohana mengusirnya meskipun tanpa bukti. Rohana cemburu buta. Dia ceroboh dengan memercayai laporan tetangganya begitu saja. Ribuan kata fitnah meluncur dari mulut tetangganya. Kata-kata itu membentuk pedang kebencian yang dihunus Rohana untuk menyerang Abdul Aziz. "Apa maksud semua ini?" tanya Abdul Aziz setelah melihat sikap Rohana. Rohana membuang sepiring nasi di depan Abdul Aziz. Piring tersebut hampir saja mengenai kepala anak keduanya. Untung Ratih sangat sigap menghindari piring terbang itu. Serpihan piring berserak mengurai mahligai rumah tangga yang telah mereka bina selama ini. Nasi dan lauknya berceceran memenuhi lantai putih seputih cinta Abdul Aziz kepada Rohana. Namun, putihnya cintanya telah tertutup oleh noda-noda fitnah yang telah menggelapkan mata hati Rohana. "Aku tak menyangka kau tega menikam saya dari belakang. Di depanku kau tampak seperti suami yang jujur dan sok romantis. Akan tetapi, di belakang kau bermain cinta dengan Maryamah. Sekarang kau pilih. Aku dan anak-anak yang keluar dari rumah ini atau kamu yang minggat ke rumah orang tuamu?" Kata Rohana dengan wajah angkara murka. "Dik Rohana, aku tidak paham dengan semua tuduhanmu. Bermain cinta dengan Maryamah siapa?" "Berlagak bodoh, ya? Maryamah, wanita TKW yang baru datang dari Timur Tengah, anak Pak Subhan temanmu pengurus masjid. Wanita janda, bahenol yang telah menggelapkan matamu sehingga kau tega melupakanku dan anak-anak." "Astaghfirullahalazim. Atas dasar apa kau menuduhku seperti itu? Aku tak pernah melakukan perbuatan seperti yang kau tuduhkan kepadaku. Bahkan, aku baru kenal Maryamah setelah Pak Subhan menceritakan anaknya itu yang baru pulang dari Suriah. Anaknya bisa pulang dengan selamat dari negara yang bergejolak tersebut." "Atas dasar itu kan kamu pura-pura bersimpati dan sering mengunjungi Maryamah di rumahnya?" "Rohana! Kau sudah termakan fitnah!" bentak Abdul Aziz. "Fitnah!? Ini bukan fitnah. Ini fakta. Semua tetangga tahu bahwa kamu semenjak Maryamah di rumah, kau sering ke situ." "Rupanya kau lebih percaya pada omongan tetangga daripada mendengar penjelasanku. Aku ke rumah itu karena aku menemui Pak Subhan. Kami membicarakan persiapan pelaksanaan takbir keliling dan salat Id di masjid. Kami berunding tentang khotib salat Id. Bukan bicara tentang Maryamah." "Aku tidak percaya dengan semua alasanmu. Sekarang juga kamu pergi dari rumah ini atau kami yang akan pergi? Sekarang juga," desak Rohana. Abdul Aziz dengan muka sedih karena tuduhan palsu istrinya bangkit dari balik meja makan. Dia masuk ke kamar untuk mengemasi pakaian lalu meninggalkan istri dan ketiga anaknya yang berderai air mata sembari memainkan menu berbuka puasa. Ketiga anaknya berdiri lalu berhamburan menuju kamar masing-masing. Selang tiga hari Pak Subhan datang ke rumah Rohana. Dia mengantarkan konsep acara takbir keliling serta rencana shalat Id yang telah dirembugkan bersama Abdul Aziz di rumahnya. Rohana sendiri yang menerima konsep dua acara yang terjilid rapi dari Pak Subhan. "Memang Pak Abdul Aziz di mana, Bu Rohana? Tiga hari ini saya tidak melihatnya sama sekali. Padahal, ada beberapa hal yang sangat penting untuk dibahas bersama panitia yang lain?" "Memangnya suami saya menjabat apa dalam acara ini?" tanya Rohana penasaran. "Pak Abdul Aziz sebagai ketua dan saya sebagai sekretarisnya. Kami berdua hari-hari ini sering mendiskusikan kedua acara tersebut di rumahku agar acara bisa berjalan dengan baik dan lancar." Pak Subhan menjelaskannya kepada Rohana. "O, begitu! Maaf, tiga hari ini Pak Subhan ada kepentingan di rumahnya Banyuwangi. Mungkin besok sudah pulang," kata Rohana. Pak Subhan manggut-manggut. Dia pun pamit meninggalkan istri Abdul Aziz. Rasa sesal mulai tumbuh dalam diri Rohana. Dia menyesali tindakannya yang telah menuduh suaminya bermain api dengan Maryamah. Dia termakan fitnah tetangganya yang iri hati pada keharmonisan rumah tangganya. Hati Rohana yang paling dalam sebenarnya tak percaya dengan fitnah itu, namun karena cintanya selama ini pada Abdul Aziz sehingga dengan mudah dia mudah terbakar gosip miring sampai-sampai cemburu buta. "Bu, kenapa menangis?" tanya Laili, si anak bungsu. "Ah, tidak. Ibu tidak menangis," jawabnya sambil mengusap air matanya. "Malam lebaran ini terasa tidak sempurna tanpa kehadiran ayah," sambung Laili. "Benar," kata singkat Rohana sambil mendekap Laili. "Besok pagi ayah harus berkumpul lagi dengan kita." Rohana terhenyak mendengar ucapan Laili. Dia menatap wajah anaknya yang masih duduk di bangku SMP ini dalam-dalam. Hati Rohana menangis karena terharu atas kerinduan anaknya pada sosok ayahnya. Rohana tertunduk di hadapan anaknya. Dia merasa malu karena telah mengusir suaminya tanpa alasan yang jelas. Dia ingin memutar waktu sehingga dia mencabut kata-katanya yang terakhir pada suaminya. Laili menemui Ratih dan kakak tertuanya Fatimah. Laili menyampaikan niatnya kepada kedua saudaranya. Dia bercerita tentang ibunya yang selalu menangis dan berlinang air mata penyesalan. "Benarkah itu? Kalau begitu saat ini pula kita telepon ayah agar besok pagi-pagi keluarga kita menjadi lengkap lagi," kata Amran. Fatimah segera mengambil handphone. Dia menghubungi ayahnya yang telah berpisah dengannya selama dua minggu. Dia meminta kepada ayahnya agar segera kembali ke rumah yang telah ditempatinya selama ini. Ayahnya setuju dan menerima permintaan anak-anaknya. Malam semakin larut. Suara takbir menggema di seluruh alam raya. Kalimat-kalimat thayyibah yang mengagungkan Allah tiada henti merambati waktu semalam suntuk. Pada penghujung malam saat fajar mulai tampak, di pintu depan rumah Rohana terdengar suara ketukan. Fatimah, Ratih, dan Laili bergegas bangkit dari tidurnya. Mereka berhamburan menuju pintu depan. Daun pintu kayu jati mereka buka perlahan. Ternyata sosok ayah yang mereka rindukan telah berdiri di depannya. Mereka saling berangkulan dan hanyut dalam dekap kerinduan. Ratih dan Laili menjemput ibunya yang akan menunaikan shalat shubuh. Mereka memberi kejutan pada ibunya yang semalam suntuk melantunkan takbir di ruang salat rumahnya. Dia dipertemukan suaminya oleh anak-anaknya. Rohana bersimpuh dengan isak tangis penyesalan. Dia meminta maaf kerena telah mengusirnya atas dasar hasutan tetangganya. Di hari yang suci keluarga yang sempat berantakan kini menyatu lagi. Bunga-bunga permaafan memenuhi ruang hati mereka. Senyum kebahagiaan mengembang dari penghuni rumah di hari kemenangan yang penuh makna. Mereka berkumpul lagi merayakan hari raya lebaran dengan kesempurnaan. Wanar, Maret 2022 Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan dan Ketua PC Lesbumi NU Babat. Beberapa puisi dan cerpen sering dimuat di berbagai media cetak dan online serta telah menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi dan cerpen. Buku kumcer Lorong Kenangan dinobatkan sebagai pemenang dalam GTK Creative Camp GCC 2021 oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Saat ini dia berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan.

Cerpententang idul adha. Ya alat Idul Adha 1441 H tinggal beberapa jam lagi. Di satu daerah warganya sedang salat Idul Adha. Selamat Hari Raya Idul Adha. Cergam tentang idul adha berikut ini akan melengkapi koleksi yang sudah ada. Cerpen tentang idul adha. Jadi Idul Fitri sejatinya bermakna kembali sarapan. Itulah salah satu dari referensi

- Cerpen Idul Fitri adalah cerita pendek yang berisi tentang peristiwa, pengalaman, atau kisah yang terjadi selama Hari Raya Idul Fitri 2023. Cerpen ini dapat berisi berbagai hal, seperti kisah tentang kebersamaan keluarga saat berkumpul di rumah, kegembiraan dalam menikmati hidangan khas Idul Fitri, perjalanan pulang kampung, atau pengalaman lainnya yang terkait dengan perayaan Idul Fitri. Cerpen Idul Fitri biasanya mengandung pesan moral atau nilai-nilai kehidupan yang ingin disampaikan oleh penulisnya, seperti pentingnya saling maaf-memaafkan, kebersamaan, rasa syukur, dan nilai-nilai keagamaan lainnya. Baca Juga Cerpen Ramadhan 2023, Sebulan Penuh Berkah Cerpen ini dapat menjadi sarana untuk menyemangati pembaca dan mengingatkan mereka tentang makna sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri. Cerpen Idul Fitri sering diterbitkan di media massa, seperti surat kabar, majalah, atau antologi cerpen. Selain itu, cerpen ini juga dapat dibaca secara online di situs web atau aplikasi cerita pendek. Berikut ini adalah contoh cerpen tentang Hari Raya Idul Fitri 2023 Judul Kembali Bersama Keluarga Tercinta Santa telah menantikan hari yang paling dinantikan sepanjang tahun, yaitu Hari Raya Idul Fitri 2023. Ia telah menyiapkan segala sesuatunya dengan baik, mulai dari persiapan pakaian baru hingga makanan lezat untuk disajikan kepada para tamu yang akan berkunjung ke rumahnya. Baca Juga Cerpen Ramadhan 2023 Malam Pertama di Bulan Puasa Namun, ada satu hal yang membuat Santa sedih, yaitu karena ia tidak bisa berkumpul bersama keluarganya yang tinggal jauh di kampung. Ia merindukan suasana lebaran yang selalu meriah dan penuh kebahagiaan bersama keluarga. Namun, Santa tetap berusaha untuk menikmati hari raya Idul Fitri di kota tempat ia tinggal. Ia memutuskan untuk mengunjungi rumah teman-temannya yang juga merayakan Idul Fitri di kota tersebut. Santa merasa bahagia bisa bertemu dan berbincang-bincang dengan teman-temannya yang juga merindukan keluarga mereka di kampung halaman. Namun, di tengah keramaian dan kegembiraan bersama teman-temannya, Santa merasa kesepian dan merindukan keluarganya semakin kuat. Ia merasa bahwa tidak ada yang bisa menggantikan kehangatan dan kebersamaan dengan keluarga di hari raya Idul Fitri. Mengumpulkanbeberapa cerita dari teman-teman dari berbagai negara tentang pengalaman Lebaran dalam kenormalan yang baru. Words by Emma Primastiwi. Ilustrasi: Max Suriaganda. Desain: Mardhi Lu. Lebaran tahun ini terbukti cukup menantang dari tahun-tahun sebelumnya.
Penghujung Ramadan telah tiba, sekarang adalah hari terakhir di bulan Ramadan. Aku bahagia karena Idul Fitri telah tiba. Namun, aku juga sedih karena Ramadan akan pergi. Aku berharap dan berdoa supaya tahun depan aku dan keluargaku masih dapat bertemu kembali dengan Ramadan, dan menjalani Ramadan bersama-sama lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul WIB ibuku memasak ketupat sayur di dapur, seperti lebaran sebelumnya pasti selalu ada ketupat sayur di rumahku untuk disantap bersama-sama oleh keluarga. Aku membantu ibuku menyiapkan bumbu-bumbu ketupat, sedangkan ayahku sedang mengecat pagar rumah agar terlihat lebih asri, kakak laki-lakiku sedang mencuci motornya di doorsmeer. Aku sangat senang hawa-hawa seperti ini jarang sekali ditemui, tetanggaku yang juga mengecat rumahnya, ada juga yang menggunakan gorden baru, serta keset baru. Ibu memanggilku, “Aulia! Sini ke dapur, bantu Ibu memasak ketupat sayur. Coba kamu potongin wortel dan daun bawangnya” ujar ibu. “Baik, Bu.” Sahutku. Kemudian aku memotong wortel dan daun bawang sesuai yang ibu inginkan. Kemudian datang keponakanku yang berumur 2 tahun, dengan tingkahnya yang konyol dan menggemaskan ia meminta air minum kepadaku, akhirnya aku memberinya minum. Suasana sangat bahagia pada saat itu. Kurasa waktu begitu terburu-buru, kini langit sudah berubah warna menjadi gelap, pertanda bahwa hari sudah berganti malam. Gaung takbir pun telah terdengar, “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar Walillahilham..” Sejak tadi sore aku dan keluargaku tidak berhenti-hentinya menyiapkan dan merapihkan rumah untuk menyambut lebaran esok hari, kue-kue lebaran sudah disiapkan beserta ketupat sayur yang sudah matang, baju lebaran sudah disetrika. Setelah itu, aku, ibu, dan ayahku saling menggemakan takbir di rumah. Aku sudah tidak sabar untuk hari lebaran, biasanya setiap lebaran aku dan keluargaku keliling kampung untuk bersalaman dan bermaaf-maafan. Kakakku setiap malam takbiran selalu mengikuti lomba takbir dan Alhamdulillah ia dan timnya mendapatkan juara 2 untuk tahun ini. Hari telah berganti, hari yang kutunggu-tunggu sudah tiba. Namun, ada yang aneh pada pagi hari ini. Aku terbangun karena mendengar suara tangisan ibuku. Suara itu terdengar dari kamar ayah dan ibuku. “Ayah, bangun, Yah jangan tinggalkan kami.” Kata ibu bersamaan dengan isak tangisnya. “Ayah, bangun!” Kata kakakku. Aku segera berlari menuju kamar ayah dan ibu, ternyata ayahku sudah pergi mendahului kami. Aku sangat tidak menyangka, sekujur tubuhku lemas atas kejadian itu, “Innalilahi wa innailaihi raji’un” ucapku dalam hati. Bibirku tidak sanggup untuk mengeluarkan satu kata pun, hanya air mata yang mengalir deras di pipiku. Ibu memelukku dan mencoba menenangkan aku yang sudah tidak berdaya. Lalu kakakku segera pergi ke rumah RT dan pergi ke masjid untuk memberikan informasi atas meninggalnya ayah kami. Hati kami begitu hancur, di hari raya yang fitri nan suci, kami berharap akan bahagia bersama keluarga besar, ternyata ayah sudah pergi dijemput Sang Ilahi. Hanya doa yang bisa kupanjatkan, semoga ayah dapat tenang di alam sana, dan ayah dapat masuk ke dalam surga-Nya Allah SWT, Aamiin. Ternyata Ramadan tahun ini adalah Ramadan terakhir bersama ayah, begitu juga untuk Idul Fitri tahun ini, ayah tidak lagi menemani. Ayah membiarkan kami merayakan lebaran tanpa dirinya. Hatiku hancur, belum sempat diri ini meminta maaf kepadanya. Belum sempat diri ini membahagiakan dirinya. Kini aku hanya memiliki satu orang tua, yaitu Ibuku. Aku selalu berdoa agar ibuku diberi umur yang panjang dan sehat selalu, agar kami bisa selalu bersama-sama dan aku dapat membuat bangga serta memberi kebahagiaan kepada ibuku selama di dunia. Kebiasaan kami untuk berkeliling kampung saat Idul Fitri pun tidak terlaksana pada tahun ini, karena kami harus mengurus dan mengubur jenazah ayah. “I love you, Ayah. Nanti kita kumpul lagi, ya di surga-Nya Allah. Aamiin.” Kataku, lalu menyium kening ayah sebelum dimasukkan ke dalam keranda oleh para tetanggaku. Aku melihat ibu mencoba untuk tetap tegar, kakakku yang ikut mengangkat jenazah ayah pun mencoba untuk terlihat baik-baik saja, walaupun aku tahu dalam hatinya begitu hancur atas kepergian ayah. Tahun ini Idul Fitri terakhirku bersama ayah. oleh Hamidah, Universitas Negeri Jakarta Post Views 1,998
IdulFitri sebagai Anugerah Umat Islam "Perenungan Menjadi Manusia". Hari Raya Idul fitri adalah salah satu hari besar bagi umat Islam sebagai perayaan kemenangan setelah selama satu bulan berpuasa. Puasa bukan ha.
Idulfitri untuk Ibu Cerpen Siswati Pukul 10 malam. Gerimis masih membasahi setiap jengkal tanah yang kupijak. Sementara, angin berhembus kian kencang menusuk hingga ke persendian tulangku. Kurapatkan mantel yang tengah kupakai. Perlahan aku mulai melakukan tugasku, mengunci pintu pagar. Tugas ini hanya kulakukan ketika aku pulang kampung, ketika jadwal sekolah libur. Malam ini, aku mengunci pintu pagar lebih cepat dari biasanya. “Ibu tidak akan tahu,” pikirku. Cepat-cepat kuselesaikan pekerjaanku. Aku harus segera masuk sebelum ibu curiga dan “Yah, selesai,” ucapku lega. Dengan tergesa, aku kembali ke rumah, tapi sesampai di pintu aku tertegun akan kehadiran sesosok tubuh yang sudah sangat kukenal. “Bu, kenapa keluar? Nanti Ibu masuk angin!” ucapku cemas. Ibu cuma memandangku tajam dan perlahan beliau mengalihkan pandangan ke arah kunci pagar yang kupegang. Aku tersedak, segera aku sadar bahwa ibu telah memorgoki aksiku barusan. “Mereka tidak akan pulang malam ini, Bu,” ucapku bergetar. Aku tahu, ibu tidak akan suka mendengar perkataanku barusan, tapi aku sudah tidak punya kata-kata lain. Bahkan, aku memang tidak pernah punya jawaban atas pandangan ibu barusan. Aku cuma diam, lalu berbalik masuk ke rumah. Kalau sudah begini, ibu pasti akan menangis, meratapi nasibnya yang telah dilupakan anak-anaknya. Aku sadar bahwa perbuatan itu pelan-pelan telah membunuh harapan ibu, harapan untuk berkumpul dengan anak-anaknya lagi. *** Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Ibu masih tertidur di ranjang. Azan subuh belum bergema, segera kuraih benda pipih persegi di sisi ranjangku. Kuputuskan untuk mencoba menulis pesan lewat chatt kepada keempat kakakku nun jauh di sana. Suatu hal yang telah lama tidak kulakukan. Pelan jemariku mulai mengetik kata demi kata, namun setiap aksara yang kutuliskan seakan hampa, tiada arti dan akhirnya aku menghapusnya. Aku tidak ingin seperti kakak-kakakku, melupakan ibu yang telah menuntun dan membimbing anak-anaknya untuk menjalani kehidupan ini, baik susah maupun senang. Pandanganku mengabur, mataku mulai basah, dadaku kian terasa sesak, seolah ada beban berton-ton yang menghimpit tubuhku. Ibu, maafkan aku, aku tak sanggup membawa kakak-kakakku untuk kembali ke rumah ini. Bahkan, ketika ayah menghembuskan napas terakhirnya, suara parau yang kita perdengarkan pada mereka hanya mampu menahan mereka tiga malam di rumah ini, tidak lebih dari itu. Aku hanya pasrah menerima kenyataan tanpa mampu berbuat apa-apa untuk menahan kepergian mereka. Tak sanggup rasanya aku membayangkan luka batinmu saat itu. Baru saja kehilangan seseorang yang amat kau cintai dan engkau harus melepas kepergian anak-anakmu yang entah kapan akan kembali pulang. Ibu… ah, tiga lebaran telah berlalu tanpa arti. Hanya kita yang merayakannya dengan beberapa aksara pada chat di WA grup keluarga yang mengabarkan bahwa kakak-kakakku tak bisa pulang. “Allahu Akbaar…! Allahu Akbaaar…!” Suara azan subuh menyadarkanku dari dari lamunan panjangku. Segera kuhapus sisa air mata dan merapikan wajahku sekenanya. Kudekati ranjang, membangunkan ibu yang kebetulan ketika aku di rumah tidur bersama di ranjangku. “Eh, kamu sudah bangun, Ra?”sapa beliau. Kuraih tangannya. Bersama, kami ke belakang untuk berwudhu, lalu shalat berjamaah. Selesai salat, biasanya, ibu akan tenggelam dalam tilawah panjangnya, sementara aku mulai sibuk berbenah di dapur menyiapkan sarapan pagi. *** Benda pipih persegi itu segera kucabut dari charger. Aku akan menghubungi saudara laki-lakiku, Bang Rizal. Entah kenapa hatiku masih ragu, bayang-bayang pertengkaran kecil kami semalam terlintas lagi. “Ibu tak mau tahu, pokoknya kamu harus telepon Rizal. Besok ulang tahunnya!” ujar ibu setengah berteriak kepadaku. “Tapi Bu…! Buat apa? Paling Bang Rizal cuma bilang terima kasih, seperti tahun-tahun yang lalu. Rara capek Bu,” jawabku tak kalah sengit. “Jangan kurang ajar, Ra! Biar bagaimana pun dia kakakmu, dia juga yang menyekolahkanmu hingga sekarang. Apa salahnya kita mengucapkan selamat ulang tahun padanya,” jawab ibu lagi, lebih melunak. “Ya, Bang Rizal memang tak pernah lupa mengirimkan uang, tapi ia selalu lupa mengirimkan kasih sayang ke rumah ini!” Aku mulai terisak. “Bang Rizal, Bang Ikhsan, Celok Mela, dan Uni Neti, mereka nggak lupa kasih uang, tapi mungkin lupa letak rumah ini,” lanjutku lebih keras lagi. Untuk beberapa saat, tercipta keheningan di antara kami. Ragu aku memandang wajah ibu. Beliau cuma diam, tapi lukisan wajahnya menyiratkan kepedihan yang amat dalam. Diam-diam aku mulai dihinggapi perasaan bersalah. Dengan serta merta, kuraih tangan ibu dan menciumnya sambil berkali-kali minta maaf. Ibu menangis. Beliau balas menciumku tanpa henti. “Sudahlah Ra, tak usah minta maaf. Kamu tak salah apa-apa. Sudah nasib ibu begini, dilupakan anak-anaknya,” ujar dengan suara parau. Tangisku kian menderas, kata-kata ibu barusan benar-benar menusuk perasaanku. Aku sadar, luka hati ibu sudah terlalu dalam, tapi mengapa kasih sayangnya seolah tak pernah berhenti mengalir buat anak-anaknya. “Rara nggak akan seperti itu, Bu… Rara sayang Ibu,” jawabku sungguh-sungguh. Ibu memandangku dan mulai menyeka air mataku. Beliau tersenyum. Sungguh sebuah senyuman yang amat mendamaikan hati. Ah, kakak-kakakku, kenapa kalian begitu bodoh hingga melupakan kedamaian ini. Akhirnya, setelah kutunaikan shalat Subuh, kuraih Oppo-ku. Hatiku berdegup kencang dan nyaris menghancurkan konsentrasiku. Dengan cepat, aku menekan 12 nomor yang sudah hafal diluar kepalaku. Nomor HP Bang Rizal. Aku harus menunggu cukup lama sebelum panggilanku dijawab. “Assalamualaikum, Bang,” sapaku. “Waalaikummussalam! Ini siapa ya?” balas Bang Rizal. “Ini Rara Bang, dari kampung,” jawabku. “Oaalah Rara. Abang kira siapa. Ada apa Ra?” tanyanya. “Nggak ada apa-apa, Cuma mau bilang selamat ulang tahun buat Abang,” jawabku ringan. “Oh,… makasih Ra, ndak disangka kamu selalu ingat ultah Abang, makasih ya!” balasnya lagi. “Ibu yang selalu ingat, Bang. Beliau tidak pernah lupa ultah kita,” jawabku sambil menahan perih di hati. “Bang, ngg… anu!” tanyaku ragu. “Ada apa Ra? Apa Ibu butuh uang? Belum bisa sekarang Ra! Abang juga lagi susah. Kamu minta sama Bang Ikhsan saja ya, usahanya lagi bagus!” serobot Bang Rizal. “Bukan itu!” seruku menahan sesak. “Ibu tak butuh uang! Aku cuma mau tanya, apa Abang bisa pulang kampung?” sunggutku kesal. “Pulang kampung? Ibu sakit ya?” “J…Jaa.. jadi Abang baru mau pulang kalau Ibu sudah sakit? Iya Bang, Ibu sedang sakit!” ujarku setengah berteriak. Aku harus menumpahkan semua beban hatiku. Aku tak sanggup lagi melihat penderitaan ibu. “Ibu tak apa-apa kan? Abang sedang sibuk Ra, mungkin setelah lebaran Abang bisa pulang,” jawabnya pelan. “Tapi Abang sendiri yang menjanjikan pada Ibu ketika Ibu meminta Abang untuk pulang Idulfitri kemarin kalau Abang bisa pulang lebaran sekarang,” tuntutku. ”Habis gimana lagi!” jawabnya enteng. Detik itu juga kepalaku rasanya mau pecah. Sia-sia sudah perjuanganku. Tubuhku terasa lemas tak berdaya, namun tiba-tiba satu perkataan lagi meluncur di seberang sana, yang semakin menghancurkan harapanku. “Mungkin Bang Ikhsan dan Celok Mela juga belum bisa pulang, dan bla…bla…” Ya Allah! Sekarang musnah sudah harapanku, bathinku. Dalam diam, kututup kembali telepon itu. Pertahananku runtuh. Aku menangis sejadi-jadinya. Apa yang harus kukatakan pada Ibu sekarang? *** Waktu terus berjalan begitu cepat, tapi ibu tak pernah berhenti berharap. Dan aku, aku sendiri tenggelam dalam perasaan bersalahku. Kerut-kerut di wajah ibu seolah menghakimi aku dan membuatku semakin tersiksa dalam ketidakberdayaan. Beberapa kali kucoba menulis surat atau menelepon mereka, tapi semua itu tak lebih berharga dari segudang kesibukan mereka. Seribu satu alasan telah kulontarkan pada mereka. Namun, sepuluh ribu alasan lagi yang mereka kembalikan padaku untuk menolak ajakanku untuk pulang. Sampai akhirnya, aku bosan untuk terus berharap dan memilih untuk diam. Tapi Ibu, oh… beliau tak pernah berhenti berharap, seolah ada sungai yang mengalir yang tak putus-putus di hatinya, yang terus mengaliri harapan-harapannya. “Maafkan aku Ibu,”bathinku. *** Hari ini, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku berkumpul lagi bersama keempat kakakku tanpa kurang seorang pun. Cuma bedanya, kami tidak berkumpul di rumah yang penuh harapan ibu, tapi kami tengah mengelilingi dua pusara yang saling berdampingan. “Ibu, akhirnya harapan ibu terkabul. Hari ini kita bisa berkumpul bersama lagi, tepat di hari raya Idulfitri ini, Bu.” * Biodata Penulis Siswati kelahiran Nanggalo, 14 April 1981. Ia merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara. Ia salah satu peserta Sekolah Menulis FLP Sumbar 2020 dan alumni Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Sekarang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Sejak tahun 2008 hingga sekarang, ia menjadi guru di Perguruan Islam Ar Risalah, Padang. Siswati telah menerbitkan tulisannya dalam buku berjudul Perjalanan Berkah Menuju Ka’bah Sebuah Memoar. Tema Universal dalam Karya Sastra dan Tantangan Menulis Cerita yang Tak Biasa Oleh Azwar Sutan Malaka Pembina FLP Sumatera Barat dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta Ragdi F Daye, dalam kata pengantar buku Kumpulan Cerpen Idul Fitri untuk Ibu 2020 menuliskan bahwa dalam cerpen-cerpen karya Forum Lingkar Pena FLP Sumatera Barat banyak menempatkan sosok ibu, baik secara harfiah maupun metaforis—keluarga, tradisi, masa lalu—menjadi titik sentral kehidupan para tokoh anak. Shabrina Maulida 2019 dalam skripsinya berjudul “Citra Ibu dalam Puisi Indonesia Modern Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah” menyampaikan bahwa citra ibu dalam sebuah puisi karya sastra merupakan bayangan visual mengenai pribadi atau kesan mental seorang ibu yang diperoleh dari kata, frasa, atau kalimat yang ditulis dalam karya sastra tersebut. Lebih jauh Maulida 2019 menjelaskan bahwa munculnya citra ibu dalam imajinasi pembaca merupakan hasil dari usaha penulis dalam menyampaikan pandangannya. Pembaca dalam hal ini seakan dihadapkan langsung dengan sesuatu yang konkret mengenai ibu. Dengan demikian, penyajian citra dalam sebuah karya sastra tidak hanya untuk memberi gambaran yang jelas, tetapi juga dapat menarik perhatian, membangun suasana tertentu, hingga membantu dalam proses penafsiran dan penghayatan puisi. Dalam banyak karya kreatif pun, kisah tentang “Ibu” memang tak habis-habisnya dieksplorasi oleh insan kreatif. Baik di Sumatera Barat sendiri, Indonesia, bahkan karya-karya kreatif dunia. Di Indonesia beberapa karya sastra bertema Ibu diantaranya adalah Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto yang diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 1981 dengan tebal 231 halaman. Motingo Busye menulis novel berjudul Rindu Ibu adalah Rinduku. Motinggo Busye merupakan sastrawan penting yang banyak menelurkan karya pada tahun 60-an. Rindu Ibu adalah Rinduku berkisah tentang seorang perempuan bernama Lisdayani, seorang istri dan ibu dari enam orang anak. Cerpen yang terbit di Kreatika minggu ini berjudul “Idul Fitri untuk Ibu” karya Siswati. Cerpen ini bercerita tentang rindu seorang ibu terhadap anak-anaknya. Cerpen ini dibuka oleh penulisnya dengan dramatis di mana di tengah malam beberapa hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, seorang ibu keluar dari rumah untuk menunggu kehadiran anak-anaknya yang merantau. Cerita yang dramatis itu terlihat dari paragraf berikut ini “Mereka tidak akan pulang malam ini, Bu,” ucapku bergetar. Aku tahu, ibu tidak akan suka mendengar perkataanku barusan, tapi aku sudah tidak punya kata-kata lain. Bahkan, aku memang tidak pernah punya jawaban atas pandangan ibu barusan. Aku cuma diam, lalu berbalik masuk ke rumah. Kalau sudah begini, ibu pasti akan menangis, meratapi nasibnya yang telah dilupakan anak-anaknya. Aku sadar bahwa perbuatan itu pelan-pelan telah membunuh harapan ibu, harapan untuk berkumpul dengan anak-anaknya lagi. Siswati, 2020. Penekanan penulis terlihat pada kalimat “Kalau sudah begini, ibu pasti akan menangis, meratapi nasibnya yang telah dilupakan anak-anaknya.” Kisah ini menjadi bagian yang sering dieksplorasi penulis, kisah kerinduan seorang ibu pada anak-anaknya yang sudah hidup dengan kehidupan mereka masing-masing. Kisah rindu seorang ibu menjadi pilihan penulis untuk diceritakan baik dalam cerita pendek ataupun cerita-cerita yang panjang, adalah pilihan sadar bahwa tema tentang “Ibu” memang tema yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Dia tema abadi sepanjang masa, sama abadinya dengan kisah-kisah cinta orang tua pada anaknya. Ragdi F Daye 2020 melanjutkan bahwa kemelut relasi dan interaksi dengan keluarga mucul dalam “Idul Fitri untuk Ibu.” Berawal dari sejumlah perdebatan tentang anak-anak yang berkali-kali gagal—atau sengaja menolak?—mudik, hingga berujung pada “Hari ini, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku berkumpul lagi bersama keempat kakakku, tanpa kurang seorang pun. Cuma bedanya, kami tidak berkumpul di rumah yang penuh harapan ibu, tapi kami tengah mengelilingi dua pusara yang saling berdampingan.” Kisah cerita yang tragis yang ditulis oleh Siswati 2020 dimana anak-anak hanya bisa berkumpul ketika ibunya sudah tiada menjadi pesan moral yang dibebankan pada cerita. Penulis ingin menyampaikan pada pembaca, selama masih memiliki orang tua, sesibuk apapun urusan dunia yang sedang dihadapi sempatkanlah untuk menyilau orang yang sangat berjasa dalam hidup setiap manusia itu. Walaupun ada cerita-cerita tentang kejamnya “Ibu” dalam beberapa karya sastra, namun tema tentang jasa para “Ibu” selalu mendominasi tema-tema cerita tentang ibu. Hal ini menunjukkan bahwa pilihan tema yang universal ini selalu menarik untuk diceritakan saat ini dan untuk masa depan. Tantangan dari mengangkat tema yang universal ini adalah sulitnya mengeksplorasi cerita tentang “Ibu” ini. Ini tentu karena sudah banyaknya cerita-cerita tentang ibu yang rindu pada anak-anaknya. Hal ini jugalah yang menjadi kelemahan dalam cerita pendek berjudul “Idul Fitri untuk Ibu” karya Siswati ini. Tema yang universal dan sudah sering berulang dalam beberapa karya sastra ini membuat cerpen ini sangat mudah untuk dibaca alur cerita dan endingnya. Satu paragraf membaca cerpen ini seolah sudah memberi gambaran pada pembaca bagaimana akhir cerpennya. Setelah membaca beberapa paragraf awal, pembaca bisa menebak akhir cerpen ini. Apakah akan mengarahkan pada cerita dengan happy ending akhir cerita bahagia atau cerita dengan sad ending akhir cerita sedih. Jika cerita akan berakhir bahagia, tentu sebelum lebaran datang, anak-anak yang dirindukan oleh tokoh ibu ini akan bisa pulang melihat sang ibu walaupun dengan berbagai tantangan yang dhadapi anak-anaknya. Sementara itu jika cerita ini akan berakhir sedih, ya…sudah dapat ditebak juga bahwa sang ibu akan merana menunggu anaknya yang tak datang-datang sampai hari lebaran tiba. Nah, Siswati teryata memilih cerpen “Idul Fitri untuk Ibu” berakhir dengan sedih sad ending dimana ia “membunuh” tokoh Ibu dalam cerpennya sebelum anak-anaknya berkumpul melihatnya. Pilihan tema sedih ini tentu dapat dimaklumi karena pengarang ingin menekankan pesan moral bahwa jangan sampai terlambat menjumpai sosok ibu, apalagi terlambat berbakti pada ibu walau hanya dengan memenuhi keinginannya untuk berkumpul pada hari raya. Sebagai lulusan Sastra Indonesia, Siswati perlu ditantang untuk menulis cerita yang lebih menarik dengan mengangkat tema-tema yang tidak universal. Ada pilihan tema yang mungkin jarang dieksplorasi dalam karya-karya fiksi tentang banyak hal, seperti perjuangan guru yang berkebutuhan khusus, tentang cinta yang tak biasa antara anak manusia, tentang hubungan manusia dengan alam atau lingkungannya dan tentang banyak hal yang spesifik yang jarang dieksplorasi dalam cerita. Memang butuh keberanian untuk menghadirkan karya sastra yang bertema tidak biasa, akan tetapi untuk memperkaya khasanah sastra Indonesia, kita membutuhkan karya-karya yang tidak biasa itu. Semoga saja Siswati dan juga pengarang-pengarang lainnya di Forum Lingkar Pena FLP khususnya dan di Indonesia pada umumnya mampu menjawab tantangan ini –Menulis karya sastra dengan tema yang tak biasa–. * Catatan Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra cerpen dan puisi. Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar
Akumenjawab: 'Wahai Rasulullah, sungguh Aku mampu berpuasa (terus-menerus).'. Rasulullah saw bersabda: 'Puasalah bulan Sabar (Ramadhan) dan tiga hari setelahnya, dan puasalah pada bulan-bulan mulia'." (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan selainnya). 3. Sehari setara 30 hari puasa. عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ
Kitayang di momentum Idul Fitri kemarin sempat melaksanakan sholat hari raya di masjid secara berjamaah, pada lebaran Idul Adha 2021 ini belum tentu bisa melakukan hal yang sama. Cerpen Idul Adha Menyentuh Tentang Sandal dan Keset Kaki Masjid; Puisi Idul Adha 1442 H yang Menyentuh Hati; Pantun Semangat dan Lucu Idul Adha; Cerita Tentang
Perayaan Hari Raya Idul Fitri jatuh pada tanggal 24 Mei 2020 dan menjadi hari besar bagi umat Islam.. Dilansir dari situs resmi Nahdlatul Ulama, Hari Raya Idul Fitri adalah puncak dari pelaksanaan ibadah puasa.. Idul Fitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa sendiri, yaitu manusia yang bertaqwa.
Washilah- Bicara tentang idul fitri atau hari lebaran, pasti yang terbayang adalah tampilan dan makanan yang istimewa. Tapi, seperti apakah sunah tentang adab hari raya? Yuk simak berikut ini: 1.Mandi. Yaps, saat hari raya disunahkan untuk mandi sebelum melaksanakan Salat Id, bahkan ada yang berpendapat seperti mandi janabah.
RelatedPosts To Contoh Cerpen Idul Adha. Contoh Cerpen Tentang Hari Raya Idul Adha Bagaimana perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan mu contoh sinopsis dan unsur ekstrinsik cerpen novdct resensi kumpulan cerpen mirip okt kumpulan cerpen hujan kepagian terdiri dari cerita cerpen ini merupakan perjuangan kemerdekaan itu sebagai anggota 3RNqOkA.